Selasa, 19 Juni 2012

Memahami Undang-Undang Dasar 1945

UUD 1945*
Pipin Hanapiah**
A. Pendahuluan
Memahami Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) akan lebih lengkap
dan tepat bila ditelusuri asalmula kelahirannya terlebih dahulu. Setelah itu baru
tentang proses perumusannya, substansi/isinya (termasuk perubahannya), gerakpelaksanaannya,
dan terakhir penerapannya.
Asalmula kelahiran UUD 1945 baru dapat lebih dimengerti apabila dikaitkan
dengan asalmula kelahiran dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia. Hal ini jelas, sebab pemahaman Batang Tubuh (BT) UUD 1945
merupakan pemahaman dalam kerangka penjabaran Pancasila sebagai dasar negara.
Proses perumusan UUD 1945 sangat berkait dengan proses konsensusnasional
(secara yuridis-formal ketatanegaraan) bangsa Indonesia di awal
pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang disiapkan oleh
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
disahkan kemudian oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Substansi/isi UUD 1945 (termasuk UUD 1945 Setelah Perubahan I—IV)
meliputi pembahasan tentang nilai/norma/kaidah yang terdapat dalam Pembukaan,
--------
* Makalah disajikan pada Siswa Perwira Sekolah Staf dan Komando TNI-AU, Angkatan XXXVIII
(T.A. 2001-2002), 5 Juni 2001, di Sesko-AU, Lembang.
** Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran (FISIP UNPAD),
Bandung.
2 dari 12
Batang Tubuh, dan Penjelasannya. Ketiganya akan dihubungkan dengan Teks
Proklamasi. Selain itu, ketiganya pun akan saling dihubungkan satu sama lainnya
sebagai satu kesatuan UUD 1945.
Gerak pelaksanaan UUD 1945 akan dibahas secara garis besar tentang
faktor-faktor penyebab dan substansi pelaksanaannya dari masing-masing konstitusi
yang pernah berlaku: UUD 1945, Konstitusi Republik Indonseia Serikat 1949 (KRIS
1949), dan Undang Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Penerapan UUD 1945 akan dibahas pada bagaimana secara prosedur
penjabaran UUD (konstitusi, hukum dasar tertulis/bernaskah—berarti bukan sebagai
konvensi, yaitu hukum dasar tidak-tertulis/tidak-bernaskah) kedalam peraturan
perundang-undangan sebagai hukum positif di negara Republik Indonesia dalam
kehidupan bernegara.
B. Asalmula Kelahiran UUD 1945
UUD 1945—yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945—terdiri
atas Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Ketiganya sebagai satu-kesatuan
pemahaman UUD (hukum dasar tertulis) yang utuh. Artinya, Penjelasan sebagai
kelengkapan dari Batang Tubuh; Batang Tubuh sebagai perwujudan dari
Pembukaan. Pembukaan sendiri merupakan Teks Poklamasi yang terinci dan
lengkap.
Teks Proklamasi itu merupakan dokumen pernyataan politik dari proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia—
3 dari 12
tanggal 17 Agustus 1945—merupakan titik kulminasi dari perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia sejak dijajah pertamakalinya tahun 1596 (oleh Belanda) di daerah
Banten—yang kini menjadi Propinsi Banten.
Teks Proklamasi dirumuskan atas dasar ampera (amanat penderitaan rakyat:
kemerdekaan, persatuan, keadilan, kesederajatan, kemakmuran, dst.) selama 353,5
tahun—dan bahkan lebih jauh lagi ke belakang sejak perjuangan kemerdekaan
rakyat terhadap feodalisme penguasa suku-suku asli dan kerajaan-kerajaan domestik.
Tegasnya, ampera-lah yang mendorong dibuat dan dibacakannya Teks Proklamasi.
Dengan demikian, UUD 1945 akan dapat dipahami dengan benar dan tepat
apabila nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaannya dipahami terlebih dahulu
sebagai uraian terinci dan lengkap dari substansi Teks Proklamasi. Di sini jelas
bahwa UUD 1945 tidak lahir mendadak di saat-saat menjelang tanggal 18 Agustus
1949, tetapi ia lahir di dalam dan selama proses perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Karenanya, untuk mengerti dan menghayati UUD 1945 tidak cukup
hanya dengan membaca teksnya saja. Ini berarti bahwa dalam penerapan dan
perubahannya harus dengan cermat untuk mau menelusuri asalmula kelahirannya
agar tidak tercabut dari akar-sejarahnya.
C. Proses Perumusan UUD 1945
Istilah ‘pancasila’ dikemukakan pertamakalinya oleh Ir. Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945 di saat ia mendapat giliran berpidato sesudah M. Yamin dan
Soepomo. Sila-sila dari ‘pancasila’ memang secara formal (di dalam Sidang-sidang
4 dari 12
BPUPKI) dikemukakan oleh ketiga tokoh-konseptor/perumus (M. Yamin, Soepomo,
dan Soekarno). Ketiganya sama-sama mengusulkan kata-kata-kunci yang serupa
(hampir sama), yang berbeda adalah tata urutannya. Namun demikian, dalam
sidang-sidang BPUPKI itu tidak diputuskan usulan Pancasila dari siapa yang sebagai
‘calon’ dasar-negara dari negara yang akan didirikan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945—setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945—barulah disepakati oleh bangsa
Indonesia (melalui pengesahan PPKI) bahwa Pancasila sebagai dasar-negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah ‘pancasila’-nya sendiri tidak
ditulis/dikukuhkan dalam UUD 1945. Yang dikukuhkan adalah kelima-sila yang
substansinya pernah disampaikan oleh ketiga tokoh-konseptor/perumus tersebut.
Rumusannya itu pun telah mengalami perubahan baik dalam tata-urutan maupun
dalam tata-kata. Rumusan lima-sila yang termuat/tertulis pada Pembukaan UUD
1945 itu lah yang kemudian sebagai rumusan Pancasila yang resmi dan sah.
Rumusan ini pula yang kemudian menjadi ‘roh’ dari substansi Pembukaan UUD
1945.
Di sini jelas bahwa UUD yang berkedudukan sebagai konstitusi-negara
adalah UUD 1945 yang di dalam Pembukaannya termuat rumusan Pancasila yang
merupakan kesepakatan bangsa Indonesia (melalui PPKI) dan yang sila-pertamanya
adalah yang bukan seperti yang terumus di dalam Piagam Jakarta. Atas dasar
pemahaman UUD 1945 seperti inilah yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam
makalah ini.
5 dari 12
D. Substansi UUD 1945 (termasuk UUD 1945 Setelah Perubahan)
UUD 1945 berkedudukan sebagai: (1) hukum dasar tertulis, (2) sumber
hukum positif tertinggi, (3) UU tentang pembentukkan/pendirian NKRI, (4) wujud
kontrak-sosial
tertinggi bangsa Indonesia. Karena sebagai hukum, ia mengikat dan memaksa: (1)
setiap lembaga negara, (2) setiap warganegara Indonesia, (3) setiap penduduk
Indonesia, dan (4) setiap lembaga/organisasi kemasyarakatan (LSM, ormas, partai
politik). UUD 1945 bersifat fleksibel dan singkat. Fleksibel karena dapat dirubah
(Pasal 37) sesuai dengan perkembangan zaman. Singkat karena hanya memuat
aturan-aturan pokoknya saja (37 pasal); kecuali UUD Setelah Perubahan, karena ia
sudah tidak singkat lagi.
4.1 Pembukaan UUD 1945
Pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998, Sidang Umum MPR 1999, dan
Sidang Tahunan MPR 2000; Pembukaan UUD 1945 disepakati untuk tidak dirubah.
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat (4) alinea. Alinea I sebagai
konsekuensi dari Teks Proklamasi. Alinea II sebagai konsekuensi dari Alinea I.
Alinea III sebagai konsekuensi dari Alinea II. Alinea IV sebagai konsekuensi dari
Alinea III. Terakhir, Alinea IV memberi konsekuensi pada Pokok-pokok Pikiran
Pembukaan UUD 1945.
6 dari 12
Dalam Alinea I, bangsa Indonesia menyatakan: (1) anti terhadap penjajahan,
dan (2) menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Dalam Alinea II, bangsa Indonesia menyatakan: (1) perjuangan kemerdekaan
sudah di depan pintu gerbang, dan (2) cita-cita bangsa selanjutnya (merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur).
Dalam Alinea III, bangsa Indonesia menyatakan: (1) kemerdekaan sudah
diproklamasikan, (2) kemerdekaan itu atas rahmat Tuhan, (3) selain itu,
kemerdekaan itu sebagai hasil perjuangan sendiri.
Dalam Alinea IV, bangsa Indonesia menyatakan: (1) susunan pemerintahan
negara, (2) tujuan/fungsi negara, (3) UUD negara Indonesia, (4) sistem pemerintahan
republik, (5) bentuk kedaulatan rakyat, (6) ideologi Pancasila.
Keempat alinea itu harus dipahami menurut tuntunan Pokok-pokok Pikiran
Pembukaan (lihat Penjelasan UUD 1945), yaitu bahwa setiap penyelenggara
negara di
Indonesia harus mendahulukan persatuan dan kesatuan (Pokok Pikiran I), setelah itu
baru menjalankan pembangunan nasional (Pokok Pikiran II), yang dilaksanakan
secara demokratis (Pokok Pikiran III), yang dilandaskan pada taqwa yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (bertaqwa secara beradab) (Pokok Pikiran
IV).
Nilai-nilai yang terdapat pada ideologi Pancasila berkedudukan sebagai Nilai
Luhur (NL), sementara nilai-nilai lainnya yang terdapat pada Pembukaan
7 dari 12
berkedudukan sebagai Nilai Dasar (ND). Kedua derajat nilai ini bersifat universal
dan lestari, tetapi pemahamannya bersifat eksklusif Indonesia.
Nilai-nilai (NL dan ND) itu selanjutnya diwujudkan dan dijabarkan dalam
bentuk pasal-pasal/ayat-ayat pada Batang Tubuh UUD 1945. Penafsiran dan/atau
perubahan Batang Tubuh UUD 1945 (sebagaimana ternyata telah dirubah untuk
yang Pertama (1999) dan Kedua (2000) oleh MPR) tidak boleh menyimpang dari
semangat NL dan ND yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945. Tegasnya,
perubahan (dalam Batang Tubuh) itu dapat dilakukan sejauh masih dalam kerangka
penjabaran/pewujudan nilai-nilai (NL dan ND) yang terdapat pada Pembukaan UUD
1945. Itulah hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
4.2 Batang Tubuh UUD 1945
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dia tur hal-hal sebagai berikut.
Sistem Pemerintahan Negara (UUD 1945) didasarkan pada tujuh kunci
pokok (tucipok):
(1) NKRI sebagai negara hukum;
(2) NKRI menganut sistem konstitusional;
(3) MPR sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat (sudah dirubah);
(4) Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah
MPR;
(5) DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden; Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh
DPR;
8 dari 12
(6) Menteri Negara sebagai Pembantu Presiden; dan
(7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Untuk kunci yang ketujuh terkandung makna bahwa kekuasaan Presiden
selaku Kepala Negara dibatasi. Ia dibatasi oleh: (1) Kewenangan MPR, (2)
Peraturan perundang-undangan (Tap MPR dan UU), (3) Kedudukan DPR yang kuat,
dan (4) Pengaruh para Menteri. Kedudukan DPR itu kuat, karena ia: (1) semua
anggotanya adalah juga anggota MPR, (2) setiap UU harus disetujui oleh DPR, (3)
APBN harus disetujui oleh DPR, (4) setiap perjanjian dengan Luar Negeri harus
diratifikasi oleh DPR, (5) setiap pemberian amnesti dan abolisi, pengangkatan dan
penerimaan duta, pernyataan perang, dan beberapa hal yang lainnya harus disetujui
oleh DPR.
Berdasarkan hal tersebut dan pokok-pokok kaidah hukum dalam Batang
Tubuh UUD 1945 (termasuk setelah Perubahan), negara Republik Indonesia: (1)
lebih banyak menerapkan prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidentil, (2)
berbentuk negara kesatuan, (3) berbentuk pemerintahan republik, (4) bersistem
politik demokrasi, (5) berbentuk kedaulatan rakyat, (6) berpemilihan Presiden, (7)
semakin terdapat keseimbangan kekuasaan antara Legislatif (DPR) dan Eksekutif
(Presiden) dengan koridor tetap sistem presidensil, (8) semakin melindungi dan
menegakkan HAM (melalui perincian Pasal-pasal 26—34) , (9) dan seterusnya.
Perubahan UUD 1945, dengan demikian, sebagaimana yang termuat dalam
UUD 1945 Setelah Perubahan, pada dasarnya lebih banyak mengurangi
kekuasaan Presiden (yang executive-heavy) yang dominan, yang kemudian
9 dari 12
“diserahkan” kepada DPR (menjadi legislative-heavy) untuk meningkatkan
fungsi kontrolnya terhadap Presiden (Pemerintah).
4.3 Gerak Pelaksanaan UUD 1945
Di zaman Revolusi Fisik (1945—1959), UUD 1945 lebih banyak
ditafsirkan dan dipraktekkan secara parlementer baik kedalam bentuk peraturan
perundang-undangan maupun gerak kenegaraan. Hal ini ditunjukkan dengan pernah
berlakunya KRIS 1949 dan UUDS 1950. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
ketika berlaku UUD 1945 (1945—1949) yang berposisi sebagai
Pembantu/Penasehat Pemerintah (Presiden) telah berubah menjadi menjalankan
fungsi-fungsi Parlemen. Namun begitu, terdapat satu hal yang tetap, yaitu
dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara dalam ketiga konstitusi/UUD itu.
Di zaman Orde Lama (1959—1966), UUD 1945 diberlakukan kembali
melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Secara formal berlaku segala kaidah
yang termuat dalam UUD 1945, tetapi secara praktek ternyata berlaku peraturan
perundang-undangan yang melanggar isinya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya:
(1) Penetapan Presiden (Penpres) yang mengganti posisi UU, (2) Ketua DPA
dirangkap oleh Presiden, (3) DPR dibubarkan oleh Presiden karena telah menolak
RAPBN untuk menjadi APBN, (4) Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan
UUD 1945 dipahamkan sebagai Trisila (Nasakom) dan bahkan Ekasila (Gotong
Royong), (5) Pidato-pidato Presiden dijadikan “GBHN”, (6) dan yang lainnya.
10 dari 12
Di zaman Orde Baru (1966—1998), UUD 1945 dikukuhkan sebagai tekad
Orde Baru—bersama-sama dengan Pancasila—untuk dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Permasalahannya adalah: (1) Pancasila dan UUD 1945 diposisikan
secara “sakral” sehingga jauh dari wacana dan proses demokratis, (2) KKN semakin
merusak kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap Pemerintah, (3)
Pemilu yang seringkali cenderung formalitas, (4) Alat pertahanan dan keamanan
negara (ABRI) berposisi tidak netral dan independen terhadap semua kekuatan
sosial politik, (4) Pegawai Negeri Sipil beserta Birokrasinya diposisikan untuk
“monoloyalitas”, (5) kebijakan massa mengambang, (6) Presiden sebagai Ketua
Dewan Pembina Golkar, (7) dan yang lainnya. Tegasnya, kekuasaan tidak
terdistribusi secara demokratis.
Di era Global, UUD 1945 sedang dituntut direformasi, yang prosesnya
masih sedang diperjuangkan, sekurang-kurangnya masih menunggu sampai bulan
Agustus 2002 tatkala UUD 1945 selesai dirubah secara “menyeluruh” oleh MPR.
Pelaksanaannya kini, ternyata berada pada posisi transisi/dilematis. Di satu sisi,
prakteknya ingin serba reformatif; di lain sisi, peraturan perundang-undangannya—
sebagai penjabaran dari UUD 1945—belum begitu memadai. Sehingga, yang
tampak adalah seakan-akan terjadi perebutan pengaruh untuk saling menafsirkan
UUD 1945 antara Legislatif (MPR, DPR) dan Eksekutif (Presiden). Di sisi ketiga,
Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial
review terhadap hukum di atas UU (yaitu Ketetapan MPR dan UUD).
11 dari 12
E. Penerapan UUD 1945
Di dalam UUD 1945 (setelah Perubahan) terdapat Pembukaan dan Batang
Tubuh. Di dalam Pembukaan terdapat Pancasila sebagai dasar negara, tetapi juga ia
sebagai ideologi negara. Sebagai ideologi negara—menurut studi Filsafat—,
Pancasila berperanan sebagai pandangan hidup, dasar negara, dan tujuan nasional.
Karenanya, penerapan UUD 1945 dapat dilakukan melalui cara berpikir filsafati.
F. Daftar Pustaka
B u k u:
Astrid S. Susanto Sunario, 1999,
Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Duapuluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti
Depdikbud.
Pringgodigdo, H.A.K., 1989,
Tiga Undang Undang Dasar, Jakarta: PT Pembangunan.
Sinar Grafika, 1999,
Ketetapan-ketetapan MPR 1999 (khususnya: Tap. MPR-RI Nomor IX tentang
Penugasan Badan Pekerja MPR untuk Melanjutkan Perubahan UUD 1945),
Jakarta: Sinar Grafika.
--------, 2000,
UUD 1945 Setelah Amandemen Kedua Tahun 2000, Jakarta: Sinar Grafika.
M a k a l a h:
Astrid S. Susanto Sunario, 2000,
Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta.
Agus Widjojo, 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan, Jakarta.
12 dari 12
---------, 2000,
Ceramah Kepala Staf Teritorial TNI pada Penataran Dosen Pendidikan dan Filsafat
Pancasila tanggal 18 Oktober 2000, Jakarta.
A. Gunawan Setiardja, 2000,
Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta.
A.T. Soegito, 1997,
Pokok-pokok materi: Sejarah Perjungan Bangsa Indonesia, Semarang.
---------, 1998,
Sejarah Indonesia Kontemporer sebagai Materi Pendidikan Pancasila (Analisis
Berbagai Permasalahannya), Bogor: Ditbinsarak Ditjen Dikti Depdikbud.
---------, 1999,
Nasionalisme Indonesia (Pengertian dan Perkembangannya), Jakarta.
---------, 2000,
Evaluasi Hasil Belajar Matakuliah Pendidikan Pancasila, Semarang: UPT MKU
Unnes.
---------, 2000,
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula
Pancasila, Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Koento Wibisono Siswomihardjo, 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta.
---------, 2000,
Reposisi/Reorientasi Pendidikan Pancasila Menghadapi Tantangan Abad XXI,
Semarang: FKDP Jawa Tengah.
S. Budhisantoso, t.t.,
Bangkitnya Kembali Kesukubangsaan dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, t.k.
---------, t.t.,
Kesukubangsaan dan Kebangsaan, t.k.
---------, t.t.,
Pancasila sebagai Paradigma dalam Pengembangan Kebudayaan Bangsa, t.k.
Sri Soemantri M., 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum, Bandung.
Vijayakusuma II/E-14, 5 Juni 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar