UUD 1945*
Pipin Hanapiah**
A. Pendahuluan
Memahami Undang Undang Dasar 1945 (UUD
1945) akan lebih lengkap
dan tepat bila ditelusuri asalmula kelahirannya terlebih dahulu.
Setelah itu baru
tentang proses perumusannya, substansi/isinya (termasuk
perubahannya), gerakpelaksanaannya,
dan terakhir penerapannya.
Asalmula kelahiran UUD 1945 baru dapat lebih dimengerti apabila
dikaitkan
dengan asalmula kelahiran dan perumusan Pancasila sebagai dasar
negara Republik
Indonesia.
Hal ini jelas, sebab pemahaman Batang Tubuh (BT)
UUD 1945
merupakan pemahaman dalam kerangka penjabaran Pancasila sebagai
dasar negara.
Proses perumusan UUD 1945 sangat berkait dengan proses
konsensusnasional
(secara yuridis-formal ketatanegaraan) bangsa Indonesia di
awal
pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
yang disiapkan oleh
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan
disahkan kemudian oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Substansi/isi UUD 1945 (termasuk UUD 1945 Setelah
Perubahan I—IV)
meliputi pembahasan tentang nilai/norma/kaidah yang terdapat dalam
Pembukaan,
--------
* Makalah disajikan pada Siswa Perwira Sekolah Staf dan Komando TNI-AU, Angkatan XXXVIII
(T.A. 2001-2002), 5 Juni 2001, di Sesko-AU,
Lembang.
** Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran (FISIP UNPAD),
Bandung.
2 dari 12
Batang Tubuh, dan Penjelasannya. Ketiganya akan dihubungkan dengan
Teks
Proklamasi. Selain itu, ketiganya
pun akan saling dihubungkan satu sama lainnya
sebagai satu kesatuan UUD 1945.
Gerak pelaksanaan UUD 1945 akan dibahas secara garis besar tentang
faktor-faktor penyebab dan substansi pelaksanaannya dari masing-masing
konstitusi
yang pernah berlaku: UUD 1945, Konstitusi Republik
Indonseia Serikat 1949 (KRIS
1949), dan Undang Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS
1950).
Penerapan UUD 1945 akan dibahas pada bagaimana secara prosedur
penjabaran UUD (konstitusi, hukum dasar tertulis/bernaskah—berarti
bukan sebagai
konvensi, yaitu hukum dasar
tidak-tertulis/tidak-bernaskah) kedalam peraturan
perundang-undangan sebagai hukum positif di
negara Republik Indonesia
dalam
kehidupan bernegara.
B. Asalmula Kelahiran UUD 1945
UUD 1945—yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945—terdiri
atas Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Ketiganya sebagai
satu-kesatuan
pemahaman UUD (hukum dasar tertulis) yang utuh. Artinya,
Penjelasan sebagai
kelengkapan dari Batang Tubuh; Batang Tubuh sebagai perwujudan
dari
Pembukaan. Pembukaan sendiri merupakan Teks Poklamasi yang terinci
dan
lengkap.
Teks Proklamasi itu merupakan dokumen pernyataan politik dari
proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia—
3 dari 12
tanggal 17 Agustus 1945—merupakan titik kulminasi dari perjuangan
kemerdekaan
bangsa Indonesia
sejak dijajah pertamakalinya tahun 1596 (oleh Belanda) di daerah
Banten—yang kini menjadi Propinsi Banten.
Teks Proklamasi dirumuskan atas dasar ampera
(amanat penderitaan rakyat:
kemerdekaan, persatuan, keadilan, kesederajatan, kemakmuran, dst.)
selama 353,5
tahun—dan bahkan lebih jauh lagi ke belakang sejak perjuangan
kemerdekaan
rakyat terhadap feodalisme penguasa suku-suku asli dan
kerajaan-kerajaan domestik.
Tegasnya, ampera-lah yang mendorong dibuat dan dibacakannya Teks
Proklamasi.
Dengan demikian, UUD 1945 akan dapat dipahami dengan benar dan
tepat
apabila nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaannya dipahami
terlebih dahulu
sebagai uraian terinci dan lengkap dari substansi Teks Proklamasi.
Di sini jelas
bahwa UUD 1945 tidak lahir mendadak di saat-saat menjelang tanggal
18 Agustus
1949, tetapi ia lahir di dalam dan selama proses perjuangan
kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Karenanya, untuk mengerti dan menghayati UUD 1945 tidak cukup
hanya dengan membaca teksnya saja. Ini berarti bahwa dalam
penerapan dan
perubahannya harus dengan cermat untuk mau menelusuri asalmula
kelahirannya
agar tidak tercabut dari akar-sejarahnya.
C. Proses Perumusan UUD 1945
Istilah ‘pancasila’ dikemukakan pertamakalinya oleh Ir. Soekarno
pada
tanggal 1 Juni 1945 di saat ia mendapat giliran berpidato sesudah
M. Yamin dan
Soepomo. Sila-sila dari ‘pancasila’ memang secara formal (di dalam
Sidang-sidang
4 dari 12
BPUPKI) dikemukakan oleh ketiga tokoh-konseptor/perumus (M. Yamin,
Soepomo,
dan Soekarno). Ketiganya sama-sama mengusulkan kata-kata-kunci
yang serupa
(hampir sama), yang berbeda adalah tata urutannya. Namun demikian,
dalam
sidang-sidang BPUPKI itu tidak diputuskan usulan Pancasila dari
siapa yang sebagai
‘calon’ dasar-negara dari negara yang akan didirikan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945—setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945—barulah disepakati oleh
bangsa
Indonesia
(melalui pengesahan PPKI) bahwa Pancasila sebagai dasar-negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah ‘pancasila’-nya
sendiri tidak
ditulis/dikukuhkan dalam UUD 1945. Yang dikukuhkan adalah kelima-sila
yang
substansinya pernah disampaikan oleh ketiga tokoh-konseptor/perumus
tersebut.
Rumusannya itu pun telah mengalami perubahan baik dalam
tata-urutan maupun
dalam tata-kata. Rumusan lima-sila yang termuat/tertulis pada
Pembukaan UUD
1945 itu lah yang kemudian sebagai rumusan Pancasila yang resmi
dan sah.
Rumusan ini pula yang kemudian menjadi ‘roh’ dari substansi
Pembukaan UUD
1945.
Di sini jelas bahwa UUD yang berkedudukan sebagai
konstitusi-negara
adalah UUD 1945 yang di dalam Pembukaannya termuat rumusan
Pancasila yang
merupakan kesepakatan bangsa Indonesia (melalui PPKI) dan yang
sila-pertamanya
adalah yang bukan seperti yang terumus di dalam Piagam
Jakarta. Atas dasar
pemahaman UUD 1945 seperti inilah yang akan dijelaskan lebih
lanjut dalam
makalah ini.
5 dari 12
D. Substansi UUD 1945 (termasuk UUD 1945 Setelah
Perubahan)
UUD 1945 berkedudukan sebagai:
(1) hukum dasar tertulis, (2) sumber
hukum positif tertinggi, (3) UU tentang pembentukkan/pendirian
NKRI, (4) wujud
kontrak-sosial
tertinggi bangsa Indonesia.
Karena sebagai hukum, ia mengikat dan memaksa: (1)
setiap lembaga negara, (2) setiap warganegara Indonesia, (3)
setiap penduduk
Indonesia,
dan (4) setiap lembaga/organisasi kemasyarakatan (LSM, ormas, partai
politik). UUD 1945 bersifat fleksibel dan singkat. Fleksibel
karena dapat dirubah
(Pasal 37) sesuai dengan perkembangan zaman. Singkat karena hanya
memuat
aturan-aturan pokoknya saja (37 pasal); kecuali UUD
Setelah Perubahan, karena ia
sudah tidak singkat lagi.
4.1 Pembukaan UUD 1945
Pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998, Sidang Umum MPR 1999, dan
Sidang Tahunan MPR 2000; Pembukaan UUD 1945 disepakati untuk tidak
dirubah.
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat (4) alinea. Alinea I sebagai
konsekuensi dari Teks Proklamasi. Alinea II sebagai konsekuensi
dari Alinea I.
Alinea III sebagai konsekuensi dari Alinea II. Alinea IV sebagai
konsekuensi dari
Alinea III. Terakhir, Alinea IV memberi konsekuensi pada Pokok-pokok
Pikiran
Pembukaan UUD 1945.
6 dari 12
Dalam Alinea I, bangsa Indonesia menyatakan: (1) anti
terhadap penjajahan,
dan (2) menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Dalam Alinea II, bangsa Indonesia menyatakan: (1)
perjuangan kemerdekaan
sudah di depan pintu gerbang, dan (2) cita-cita bangsa selanjutnya
(merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur).
Dalam Alinea III, bangsa Indonesia menyatakan: (1)
kemerdekaan sudah
diproklamasikan, (2) kemerdekaan itu atas rahmat Tuhan, (3) selain
itu,
kemerdekaan itu sebagai hasil perjuangan sendiri.
Dalam Alinea IV, bangsa Indonesia menyatakan: (1) susunan
pemerintahan
negara, (2) tujuan/fungsi negara, (3) UUD negara Indonesia, (4)
sistem pemerintahan
republik, (5) bentuk kedaulatan rakyat, (6) ideologi Pancasila.
Keempat alinea itu harus dipahami menurut tuntunan Pokok-pokok
Pikiran
Pembukaan (lihat Penjelasan UUD
1945), yaitu bahwa setiap penyelenggara
negara di
Indonesia harus
mendahulukan persatuan dan kesatuan (Pokok Pikiran I), setelah itu
baru menjalankan pembangunan nasional (Pokok Pikiran II), yang
dilaksanakan
secara demokratis (Pokok Pikiran III), yang dilandaskan pada taqwa
yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (bertaqwa secara
beradab) (Pokok Pikiran
IV).
Nilai-nilai yang terdapat pada ideologi Pancasila berkedudukan
sebagai Nilai
Luhur (NL), sementara nilai-nilai lainnya yang terdapat pada
Pembukaan
7 dari 12
berkedudukan sebagai Nilai Dasar (ND). Kedua derajat nilai ini
bersifat universal
dan lestari, tetapi pemahamannya bersifat eksklusif Indonesia.
Nilai-nilai (NL dan ND) itu selanjutnya diwujudkan dan dijabarkan
dalam
bentuk pasal-pasal/ayat-ayat pada Batang Tubuh UUD 1945.
Penafsiran dan/atau
perubahan Batang Tubuh UUD 1945 (sebagaimana ternyata telah
dirubah untuk
yang Pertama (1999) dan Kedua (2000) oleh MPR) tidak boleh
menyimpang dari
semangat NL dan ND yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945.
Tegasnya,
perubahan (dalam Batang Tubuh) itu dapat dilakukan sejauh masih
dalam kerangka
penjabaran/pewujudan nilai-nilai (NL dan ND) yang terdapat pada
Pembukaan UUD
1945. Itulah hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
4.2 Batang Tubuh UUD 1945
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dia tur hal-hal sebagai berikut.
Sistem Pemerintahan Negara (UUD
1945) didasarkan pada tujuh kunci
pokok (tucipok):
(1) NKRI sebagai negara hukum;
(2) NKRI menganut sistem konstitusional;
(3) MPR sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat (sudah
dirubah);
(4) Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang
tertinggi di bawah
MPR;
(5) DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden; Presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh
DPR;
8 dari 12
(6) Menteri Negara sebagai Pembantu Presiden; dan
(7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Untuk kunci yang ketujuh terkandung makna bahwa kekuasaan
Presiden
selaku Kepala Negara dibatasi. Ia
dibatasi oleh: (1) Kewenangan MPR, (2)
Peraturan perundang-undangan (Tap MPR dan UU), (3) Kedudukan DPR
yang kuat,
dan (4) Pengaruh para Menteri. Kedudukan DPR itu kuat, karena ia:
(1) semua
anggotanya adalah juga anggota MPR, (2) setiap UU harus disetujui
oleh DPR, (3)
APBN harus disetujui oleh DPR, (4) setiap perjanjian dengan Luar
Negeri harus
diratifikasi oleh DPR, (5) setiap pemberian amnesti dan abolisi,
pengangkatan dan
penerimaan duta, pernyataan perang, dan beberapa hal yang lainnya
harus disetujui
oleh DPR.
Berdasarkan hal tersebut dan pokok-pokok kaidah hukum dalam Batang
Tubuh UUD 1945 (termasuk setelah Perubahan), negara Republik Indonesia: (1)
lebih banyak menerapkan prinsip-prinsip sistem pemerintahan
presidentil, (2)
berbentuk negara kesatuan, (3) berbentuk pemerintahan republik,
(4) bersistem
politik demokrasi, (5) berbentuk kedaulatan rakyat, (6)
berpemilihan Presiden, (7)
semakin terdapat keseimbangan kekuasaan antara Legislatif (DPR)
dan Eksekutif
(Presiden) dengan koridor tetap sistem presidensil, (8) semakin
melindungi dan
menegakkan HAM (melalui perincian Pasal-pasal 26—34) , (9) dan
seterusnya.
Perubahan UUD 1945, dengan demikian, sebagaimana yang termuat
dalam
UUD 1945 Setelah Perubahan, pada
dasarnya lebih banyak mengurangi
kekuasaan Presiden (yang
executive-heavy) yang dominan, yang kemudian
9 dari 12
“diserahkan” kepada DPR (menjadi
legislative-heavy) untuk meningkatkan
fungsi kontrolnya
terhadap Presiden (Pemerintah).
4.3 Gerak Pelaksanaan UUD 1945
Di zaman Revolusi Fisik (1945—1959),
UUD 1945 lebih banyak
ditafsirkan dan dipraktekkan secara parlementer baik kedalam
bentuk peraturan
perundang-undangan maupun gerak kenegaraan. Hal ini ditunjukkan
dengan pernah
berlakunya KRIS 1949 dan UUDS 1950. Komite
Nasional Indonesia
Pusat (KNIP)
ketika berlaku UUD 1945 (1945—1949) yang berposisi sebagai
Pembantu/Penasehat Pemerintah (Presiden) telah berubah menjadi
menjalankan
fungsi-fungsi Parlemen. Namun begitu, terdapat satu hal yang
tetap, yaitu
dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara dalam ketiga
konstitusi/UUD itu.
Di zaman Orde Lama (1959—1966),
UUD 1945 diberlakukan kembali
melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Secara formal berlaku
segala kaidah
yang termuat dalam UUD 1945, tetapi secara praktek ternyata
berlaku peraturan
perundang-undangan yang melanggar isinya. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya:
(1) Penetapan Presiden (Penpres) yang mengganti posisi UU, (2)
Ketua DPA
dirangkap oleh Presiden, (3) DPR dibubarkan oleh Presiden karena
telah menolak
RAPBN untuk menjadi APBN, (4) Pancasila yang terdapat di dalam
Pembukaan
UUD 1945 dipahamkan sebagai Trisila (Nasakom) dan bahkan Ekasila
(Gotong
Royong), (5) Pidato-pidato Presiden dijadikan “GBHN”, (6) dan yang
lainnya.
10 dari 12
Di zaman Orde Baru (1966—1998),
UUD 1945 dikukuhkan sebagai tekad
Orde Baru—bersama-sama dengan Pancasila—untuk dilaksanakan secara
murni dan
konsekuen. Permasalahannya adalah: (1) Pancasila dan UUD 1945
diposisikan
secara “sakral” sehingga jauh dari wacana dan proses demokratis,
(2) KKN semakin
merusak kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap
Pemerintah, (3)
Pemilu yang seringkali cenderung formalitas, (4) Alat pertahanan
dan keamanan
negara (ABRI) berposisi tidak netral dan independen terhadap semua
kekuatan
sosial politik, (4) Pegawai Negeri Sipil beserta Birokrasinya
diposisikan untuk
“monoloyalitas”, (5) kebijakan massa mengambang, (6) Presiden sebagai Ketua
Dewan Pembina Golkar, (7) dan yang lainnya. Tegasnya, kekuasaan
tidak
terdistribusi secara demokratis.
Di era Global,
UUD 1945 sedang dituntut direformasi, yang prosesnya
masih sedang diperjuangkan, sekurang-kurangnya masih menunggu
sampai bulan
Agustus 2002 tatkala UUD 1945 selesai dirubah secara “menyeluruh”
oleh MPR.
Pelaksanaannya kini, ternyata berada pada posisi
transisi/dilematis. Di satu sisi,
prakteknya ingin serba reformatif; di lain sisi, peraturan
perundang-undangannya—
sebagai penjabaran dari UUD 1945—belum begitu memadai. Sehingga,
yang
tampak adalah seakan-akan terjadi perebutan pengaruh untuk saling
menafsirkan
UUD 1945 antara Legislatif (MPR, DPR) dan Eksekutif (Presiden). Di
sisi ketiga,
Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial
review terhadap hukum di atas
UU (yaitu Ketetapan MPR dan UUD).
11 dari 12
E. Penerapan UUD 1945
Di dalam UUD 1945 (setelah Perubahan) terdapat Pembukaan dan
Batang
Tubuh. Di dalam Pembukaan terdapat Pancasila sebagai dasar negara,
tetapi juga ia
sebagai ideologi negara. Sebagai ideologi negara—menurut studi
Filsafat—,
Pancasila berperanan sebagai pandangan hidup, dasar
negara, dan tujuan nasional.
Karenanya, penerapan UUD 1945 dapat dilakukan melalui cara
berpikir filsafati.
F. Daftar Pustaka
B u k u:
Astrid S. Susanto
Sunario, 1999,
Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke
Duapuluh Satu, Jakarta:
Ditjen Dikti
Depdikbud.
Pringgodigdo,
H.A.K., 1989,
Tiga Undang Undang Dasar, Jakarta:
PT Pembangunan.
Sinar Grafika, 1999,
Ketetapan-ketetapan MPR 1999 (khususnya: Tap. MPR-RI
Nomor IX tentang
Penugasan Badan Pekerja MPR untuk
Melanjutkan Perubahan UUD 1945),
Jakarta:
Sinar Grafika.
--------,
2000,
UUD 1945 Setelah Amandemen Kedua Tahun 2000, Jakarta:
Sinar Grafika.
M a k a l a h:
Astrid S. Susanto
Sunario, 2000,
Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta.
Agus Widjojo,
2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pertahanan, Jakarta.
12 dari 12
---------, 2000,
Ceramah Kepala Staf Teritorial TNI pada
Penataran Dosen Pendidikan dan Filsafat
Pancasila tanggal 18 Oktober 2000, Jakarta.
A. Gunawan Setiardja, 2000,
Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan
HAM, Jakarta.
A.T. Soegito, 1997,
Pokok-pokok materi: Sejarah Perjungan Bangsa Indonesia, Semarang.
---------, 1998,
Sejarah Indonesia Kontemporer sebagai Materi
Pendidikan Pancasila (Analisis
Berbagai Permasalahannya), Bogor: Ditbinsarak Ditjen Dikti Depdikbud.
---------, 1999,
Nasionalisme Indonesia
(Pengertian dan Perkembangannya), Jakarta.
---------, 2000,
Evaluasi Hasil Belajar Matakuliah Pendidikan
Pancasila, Semarang:
UPT MKU
Unnes.
---------, 2000,
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia
sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula
Pancasila, Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Koento Wibisono
Siswomihardjo, 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Jakarta.
---------, 2000,
Reposisi/Reorientasi Pendidikan Pancasila
Menghadapi Tantangan Abad XXI,
Semarang:
FKDP Jawa Tengah.
S. Budhisantoso, t.t.,
Bangkitnya Kembali Kesukubangsaan dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia,
t.k.
---------, t.t.,
Kesukubangsaan dan Kebangsaan, t.k.
---------, t.t.,
Pancasila sebagai Paradigma dalam
Pengembangan Kebudayaan Bangsa, t.k.
Sri Soemantri
M., 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan
Hukum, Bandung.
Vijayakusuma II/E-14, 5 Juni 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar